I.
Sejarah Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia
Sejarah pembentukan
badan arbitrase muamalat indonesia dilatarbelakangi dengan Ide pembentukan
lembaga arbitrase Islam di Indonesia diawali dengan pertemuan Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia dengan beberapa orang praktisi hukum, cendikiawan
muslim, para pakar, ilmuwan berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, ulama
dan kiyai.
Pada tanggal 22 april
1992 yang bertujuan untuk saling tukar pendapat seputar konsepsi arbitrase
Islam dan perlu tidaknya suatu badan arbitrase islam hadir pada dewasa itu.
Target pertemuan ini mengumpulkan sejumlah pendapat, pandangan dan saran-saran
atas ide pembentukan lembaga arbitrase Islam.
Pertemuan ini di
lanjutkan pada tanggal 2 Mei 1992 peserta rapat tidak banyak berbeda dengan
peserta rapat sebelumnya, kecuali ditambah hadirnya 3 orang utusan dan bank
muamalat Indonesia. Rapat bersepakat membentuk suatu tim yang mempelajari dan
mempersiapkan bahan-bahan bagian kemungkinan didirikannya badan arbtrase islam.
Sebagian realisasinya
di bentuk kelompok kerja membentuknya badan arbitrase hukum islam (BAHI)
berdasarkan surat keputusan dewan pimpinan majelis ulama Indonesia nomor
kep-392/MUI V/1992 tanggal 04 Mei 1992. Kelompok kerja ini terdiri atas
narasumber dan tim teknis. Adapun tugas tim teknis menyelesaikan
rancangan-rancangan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, struktur organisasi,
personalia kepengurusan prosedur beperkara, biaya berperkara, kriteria arbiter,
dan inventaris calon arbiter.
Pada tanggal 24-27
November terjadi Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia Se-Indonesia yang
memutuskan sehubungan dengan rencana pendirian lembaga Arbitrase Muamalat,
Rapat Kerja Nasional menyarankan agar MUI segera merealisasikan pembentukannya.
Sebagai tindak lanjut rapat tersabut dibetuklah panitia persiapan dan peresmian
badan Arbitrase Muammalah Indonesia dengan keputusan dewan kepemimpinan MUI No.
08/MUI/I/1993 tanggal 4 Januari 1993 dengan tugas mempersiapkan segala
sesuatunya agar badan Arbitrase Muamalah Indonesia dapat segera di resmikan
setelah diadakan penyempurnaan-penyempurnaan seperlunya.
Sebenarnya panitia
ini harus menyelesaikan tugas selambat-lambatnya tanggal 28 februari 1993,
namun karena keinginan bekerja lebih rapih dan lebih teliti, maka panitia masi
terus menerus mengadakan diskusi-diskusi lanjutan dengan mengundang paratisipan
yang lebih luas. Pada akhir tibalah saat peresmian tanggal 21 oktober 1993
dengan namanya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia, yang disingkat BAMUI).
Peremiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris Yudo Paripurno, S.H.
Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo masing-masing sebagai ketua umum dan
skretaris umum dewan pimpinan MUI.
II. Perubahan Badan Arbitrase
Muamalat Menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
Dalam undang-undang
No 16 tahun 2001 tentang yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI maka
atas keputusan rapat dewan pimpinan MUI Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember
2003, nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) di ubah menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari
hasil REKERNAS MUI, yang di ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.
Kehadiran Basyarnas
sangat diharapkan oleh umat Islam di Indonesia, karena menjadi kebutuhan riil
sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan dikalangan umat.
Tujuan didirikannya sebagai badan permanen dan independen yang terdapat dalam pasal
4 :
(1) memberikan penyelesaian yang
adil dan cepat kemungkinan terjadinya dalam sengketa muamalat yang timbul dalam
hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat
Islam.
(2) menerima Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Melalui Lembaga Arbitrase. Didalam UU No 7 tahun
1992 tentang perbankan belum di atur mengenai bank syariah, tetapi dalam
menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat,
kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem
keuangan yang semakin maju di perlukan pemyesuaina kebijakan dibidang ekonomi,
termasuk perbankan.
III. Tentang Badan Arbitrase Syariah
di Indonesia
Lahirnya Lembaga Arbitrase Islam di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dari adanya lembaga-lembaga perekonomian Islam, seperti Bank
Muamalat Indonesia (BMI), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan Asuransi
Takaful. Lembaga keuangan tersebut hadir dengan mengusung prinsip syariah, dan
secara yuridis formal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Kemudian, untuk mengatasi segala
permasalahan/perselisihan yang muncul karenanya, dibutuhkan sebuah pranata
hukum yang sesuai dengan dasar hukum yang digunakan yakni prinsip syariah.
Maka, atas prakarsa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), dibentuklah sebuah
pranata hukum yang bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
pada tanggal 29 Desember 1992.
Lalu, pada tanggal 24 Desember 2003, berdasarkan
keputusan MUI nomor kep-09/MUI/XII/2003, BAMUI resmi diubah menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Lembaga ini bertugas menangani berbagai
sengketa bisnis, baik bagi mereka yang beragama Islam maupun non-Islam.
IV. Kedudukan Hukum Arbitrase Syariah
di Indonesia
Secara yuridis formal, dasar hukum penanganan
perselisihan dengan arbitrase dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 pasal 3 ayat 1, yang berbunyi: ”Penyelesaian perkara di luar pengadilan
atas dasar perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi
putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin
atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan.”
Dalam perkembangannya, landasan dibolehkannya arbitrase
ini pun didukung oleh hadirnya UU No. 30 Tahun 1999, yang menjelaskan bahwa
setiap Iembaga arbitrase akan sah secara hukum apabila telah memenuhi
syarat/ketentuan yang diatur undang- undang.
Kedudukan hukum arbitrase syariah sendiri, dari segi
kelembagaan berstatus yayasan yang dibentuk berdasarkan Akta Notaris Nomor 175
tanggal 21 Oktober 1993, dan berdasarkan surat dari Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor C-190.H.T.03.07.TH.1992 tertanggal 7 Agustus 1992. Sementara
jika dilihat dari tata hukum di Indonesia, lembaga arbitrase syariah ini juga
memiliki kekuatan hukum. Hal ini mengingat, dalam hukum positif Indonesia,
lembaga lain di luar lembaga peradilan diperbolehkan untuk menjadi
penengah/wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
memiliki kewenangan untuk terlibat dan menyelesaikan sengketa bisnis.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar