Selasa, 16 Juli 2019

Badan Arbitrase Muamalat Indonesia


I.                  Sejarah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia

Sejarah pembentukan badan arbitrase muamalat indonesia dilatarbelakangi dengan Ide pembentukan lembaga arbitrase Islam di Indonesia diawali dengan pertemuan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dengan beberapa orang praktisi hukum, cendikiawan muslim, para pakar, ilmuwan berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, ulama dan kiyai.
Pada tanggal 22 april 1992 yang bertujuan untuk saling tukar pendapat seputar konsepsi arbitrase Islam dan perlu tidaknya suatu badan arbitrase islam hadir pada dewasa itu. Target pertemuan ini mengumpulkan sejumlah pendapat, pandangan dan saran-saran atas ide pembentukan lembaga arbitrase Islam.
Pertemuan ini di lanjutkan pada tanggal 2 Mei 1992 peserta rapat tidak banyak berbeda dengan peserta rapat sebelumnya, kecuali ditambah hadirnya 3 orang utusan dan bank muamalat Indonesia. Rapat bersepakat membentuk suatu tim yang mempelajari dan mempersiapkan bahan-bahan bagian kemungkinan didirikannya badan arbtrase islam.
Sebagian realisasinya di bentuk kelompok kerja membentuknya badan arbitrase hukum islam (BAHI) berdasarkan surat keputusan dewan pimpinan majelis ulama Indonesia nomor kep-392/MUI V/1992 tanggal 04 Mei 1992. Kelompok kerja ini terdiri atas narasumber dan tim teknis. Adapun tugas tim teknis menyelesaikan rancangan-rancangan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, struktur organisasi, personalia kepengurusan prosedur beperkara, biaya berperkara, kriteria arbiter, dan inventaris calon arbiter.
Pada tanggal 24-27 November terjadi Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia Se-Indonesia yang memutuskan sehubungan dengan rencana pendirian lembaga Arbitrase Muamalat, Rapat Kerja Nasional menyarankan agar MUI segera merealisasikan pembentukannya. Sebagai tindak lanjut rapat tersabut dibetuklah panitia persiapan dan peresmian badan Arbitrase Muammalah Indonesia dengan keputusan dewan kepemimpinan MUI No. 08/MUI/I/1993 tanggal 4 Januari 1993 dengan tugas mempersiapkan segala sesuatunya agar badan Arbitrase Muamalah Indonesia dapat segera di resmikan setelah diadakan penyempurnaan-penyempurnaan seperlunya. 
Sebenarnya panitia ini harus menyelesaikan tugas selambat-lambatnya tanggal 28 februari 1993, namun karena keinginan bekerja lebih rapih dan lebih teliti, maka panitia masi terus menerus mengadakan diskusi-diskusi lanjutan dengan mengundang paratisipan yang lebih luas. Pada akhir tibalah saat peresmian tanggal 21 oktober 1993 dengan namanya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia, yang disingkat BAMUI). Peremiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo masing-masing sebagai ketua umum dan skretaris umum dewan pimpinan MUI.

    II.            Perubahan Badan Arbitrase Muamalat Menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
Dalam undang-undang No 16 tahun 2001 tentang yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI maka atas keputusan rapat dewan pimpinan MUI Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003, nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) di ubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil REKERNAS MUI, yang di ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.
Kehadiran Basyarnas sangat diharapkan oleh umat Islam di Indonesia, karena menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan dikalangan umat. Tujuan didirikannya sebagai badan permanen dan independen yang terdapat dalam pasal 4 :
(1) memberikan penyelesaian yang adil dan cepat kemungkinan terjadinya dalam sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam.
(2) menerima Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Lembaga Arbitrase. Didalam UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan belum di atur mengenai bank syariah, tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju di perlukan pemyesuaina kebijakan dibidang ekonomi, termasuk perbankan.

 III.            Tentang Badan Arbitrase Syariah di Indonesia
Lahirnya Lembaga Arbitrase Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adanya lembaga-lembaga perekonomian Islam, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan Asuransi Takaful. Lembaga keuangan tersebut hadir dengan mengusung prinsip syariah, dan secara yuridis formal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Kemudian, untuk mengatasi segala permasalahan/perselisihan yang muncul karenanya, dibutuhkan sebuah pranata hukum yang sesuai dengan dasar hukum yang digunakan yakni prinsip syariah. Maka, atas prakarsa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), dibentuklah sebuah pranata hukum yang  bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) pada tanggal 29 Desember 1992.
Lalu, pada tanggal 24 Desember 2003, berdasarkan keputusan MUI  nomor kep-09/MUI/XII/2003, BAMUI resmi diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Lembaga ini bertugas menangani berbagai sengketa bisnis, baik bagi mereka yang beragama Islam maupun non-Islam.

 IV.            Kedudukan Hukum Arbitrase Syariah di Indonesia
Secara yuridis formal, dasar hukum penanganan perselisihan dengan arbitrase dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 3 ayat 1, yang berbunyi: ”Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan.”
Dalam perkembangannya, landasan dibolehkannya arbitrase ini pun didukung oleh hadirnya UU No. 30 Tahun 1999, yang menjelaskan bahwa setiap Iembaga arbitrase akan sah secara hukum apabila telah memenuhi syarat/ketentuan yang diatur undang- undang.
Kedudukan hukum arbitrase syariah sendiri, dari segi kelembagaan berstatus yayasan yang dibentuk berdasarkan Akta Notaris Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993, dan berdasarkan surat dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor C-190.H.T.03.07.TH.1992 tertanggal 7 Agustus 1992. Sementara jika dilihat dari tata hukum di Indonesia, lembaga arbitrase syariah ini juga memiliki kekuatan hukum. Hal ini mengingat, dalam hukum positif Indonesia, lembaga lain di luar lembaga peradilan diperbolehkan untuk menjadi penengah/wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) memiliki kewenangan untuk terlibat dan menyelesaikan sengketa bisnis.



Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ENGLISH BUSINESS 2# | SESSION 4

Causative Verbs Page 7       1.        The doctor made the patient  stay  in bed.       2.        Mrs. Crane had her house  painte...