Selasa, 16 Juli 2019

Monopoli (KPPU)


I.      Monopoli
Monopoli adalah salah satu jenis pasar persaingan tidak sempurna dimana di dalamnya hanya terdapat satu produsen/ penjual yang menguasai pasar untuk melayani semua konsumen.

       II.      Ciri-ciri monopoli
1. Hanya Ada Satu Produsen
Terdapat hanya satu produsen dengan begitu maka harga ditentukan oleh produsen tanpa pengaruh dari pembeli.
Dengan kata lain, produsen atau penjual bertindak sebagai penentu harga (price maker) dan memonopoli pasar. Namun, tentu saja produsen menentukan harga produk yang dijual sesuai dengan nilainya.
2. Barang yang Diproduksi Tidak Ada Substitusi
Produk yang dijual adalah barang yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dan tidak ada barang penggantinya (substitusi)yang sejenis. Selain itu, tidak ada perusahaan yang menyediakan barang substitusinya dengan baik, sehingga produsen pada pasar monopoli akan mendapatkan banyak permintaan dari konsumen.
3. Produsen Baru Sulit Masuk ke Pasar Monopoli
Terdapat hambatan atau rintangan bagi produsen baru yang ingin masuk ke pasar monopoli. Adapun hambatan tersebut diantaranya adalah:
·                     Pembatasan legalitas yang diatur dalam undang-undang
·                     Hambatan teknologi tinggi sehingga sulit membuat barang yang sejenis
·                     Hambatan modal yang besar untuk membuat produk sejenis.
4. Produsen Menjadi Penentu Harga
Pada pasar ini produsen berperan sebagai penentu harga (price maker). Namun, produsen tidak bisa mempengaruhi harga dan output produk lain yang dijual dalam perekonomian.
5. Produsen Tidak Melakukan Promosi
Produsen tidak perlu melakukan promosi atau mengiklankan brand perusahaannya karena sudah menjadi penguasa pasar(monopoli). Konsumen terpaksa harus membeli kepada penjual karena memang tidak ada barang alternatif.

     III.      Jenis-jenis Pasar Monopoli
1. Monopoli Pemerintah dan Negara
Suatu negara/ pemerintah dapat memonopoli pasar untuk berbagai bidang produksi penting bagi negara dimana tujuannya adalah untuk memenuhi hajat hidup orang banyak.
2. Monopoli Secara Alamiah
Pasar monopoli yang tercipta karena adanya pengerauh sumber daya alam, iklim, keadaan alam di suatu tempat yang tidak terdapat di tempat lain.
3. Monopoli Karena Hak Atas Kekayaan Intelektual
Ini merupakan monopoli pasar yang didapatkan oleh produsen karena memiliki hak kekayaan intelektual terhadap suatu produk. Beberapa diantaranya adalah:
·                     Hak cipta, yaitu hak ekslusif pencipta untuk mengatur penggunaan atas karyanya.
·                     Hak paten, yaitu hak ekslusif kepada penemu atas penemuannya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu.
·                     Hak merk, yaitu hak ekslusif pemilik merk terdaftar untuk menggunakan sendiri merk tersebut atau mengijinkan pihak lain untuk memakaiknya dalam jangka waktu tertentu.
4. Monopoli karena Efisiensi Kerja
Kemampuan suatu perusahaan dalam memproduksi barang/ jasa yang berkualitas dan dibutuhkan masyarakat dapat membuat perusahaan tersebut menjadi produsen tunggal yang menguasai suatu pasar.
5. Monopoli karena Bahan Baku
Penguasaan suatu bahan baku oleh perusahaan tertentu dapat melahirkan jenis pasar ini. Umumnya hal ini terjadi jika suatu bahan baku sulit ditemukan di tempat lain sehingga perusahaan tertentu menjadi produsen tunggal.
6. Monopoli karena Penguasaan Teknologi dan Tenaga Ahli
Jenis pasar ini juga dapat tercipta karena penguasaan teknologi dan tenaga ahli di bidang tertentu. Salah satu contoh pasar monopoli karena penguasaan teknologi adalah perusahaan Microsoft yang memiliki teknologi komputasi dan tenaga ahli di bidang tersebut.
7. Monopoli Karena Masyarakat
Kepercayaan masyarakat terhadap suatu perusahaan juga bisa melahirkan pasar monopoli. Masyarakat cenderung lebih memilih untuk membeli produk-produk yang dianggap berkualitas, unik, bermanfaat, serta pelayanan yang baik.

      IV.      Kelebihan Monopoli
·                     Produsen dapat mempertahankan posisinya sebagai penguasa pasar, yaitu dengan terus melakukan inovasi dan berkreasi dengan produk dan layanannya.
·                     Pada pasar ini umumnya tidak terjadi persaingan tidak sehat karena biasanya pasar ini dikuasai oleh satu produsen.
·                     Sistem hak cipta/ hak paten pada pasar monopoli atas suatu produk akan membuat perusahaan lain termotivasi untuk menciptakan produk baru yang dapat bersaing dengan produk tersebut.
·                     Monopoli pasar yang dimiliki oleeh instansi pemerintah/ negara akan memudahkan dalam proses pemenuhan kebutuhan atau kepentingan masyarakat umum.

        V.      Kekurangan Pasar Monopoli
·                     Adanya monopoli pasar akan memicu munculnya pasar gelap dan transaksi ilegal karena barang-barang tertentu sulit didapatkan atau terlalu mahal.
·                     Produsen bisa saja melakukan ketidakadilan terhadap konsumen karena kekuatannya mutlah, misalnya menentukan harga barang terlalu mahal.
·                     Keinginan konsumen di pasar ini tidak terlalu berpengaruh karena tidak adanya pilihan barang alternatif.
·                     Produsen bisa saja melakukan eksploitasi karena ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

      VI.      Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU bertanggungjawab kepada Presiden. Komisioner KPPU berjumlah 9 orang, diangkat olehPresiden Indonesia berdasarkan hasil Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

    VII.      Tugas dan Wewenang KPPU
Menurut Undang-undang No 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:
Tugas
1.                   melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
2.                  melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
3.                  melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
4.                  mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
5.                   memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
6.                  menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
7.                   memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang
1.                   menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2.                  melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3.                  melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;
4.                  menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
5.                   memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
6.                  memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
7.                   meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
8.                  meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
9.                  mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
10.               memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
11.                memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
12.               menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
  VIII.      Contoh Kasus yang ditangani KPPU
Aqua Didenda 13 M, Dinyatakan KPPU Melakukan Praktik Monopoli
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan produsen Aqua, PT Tirta Investama, dan distributornya, PT Balina Agung Perkasa, bersalah dalam kasus praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Aqua dihukum dengan Rp 13 miliar dan Balina dihukum Rp 6 miliar.
Putusan itu diambil Majeslis KPPU dalam sidang di Jakarta, Selasa, 19 Desember 2017. Kedua perusahaan dinyatakan terbukti melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
Majelis komisi dalam pertimbangannya, menyatakan terlapor I (Tirta Investama) dan II (Balina Agung) memenuhi seluruh unsur pelanggaran Undang-Undang No. 5 / 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Ketua Majelis Komisi Kurnia Sya'ranie mengatakan PT Tirta Investama  dan PT Balina Agung Perkasa terbukti menghalangi pelaku usaha lain untuk menjual produknya.
Dengan terhalangnya akses distribusi produk, majelis komisi juga menilai adanya keterbatasan akses konsumen untuk memilih produk air minum dalam kemasan.
"Berdasarkan fakta-fakta yang ada, terlapor I dan II terbukti secara sah melakukan pelanggaran Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b," tuturnya dalam amar putusan.
Atas putusan tersebut, Komisi juga menjatuhkan denda administrasi kepada kedua terlapor.
Untuk PT Tirta Investama diwajibkan membayar denda Rp13,84 miliar, sementara PT Balina Agung membayar Rp6,29 miliar kepada kas negara.
Perkara ini berawal dari larangan oleh karyawan distributor Aqua, PT Balina Agung kepada para pedagang ritel menjual produk merek Le Minerale besutan PT Tirta Fresindo Jaya.
Salah satu klasul perjanjian ritel menyebutkan, apabila pedagang menjual produk Le Minerale maka statusnya akan diturunkan dari star outlet (SO) menjadi whole seller (eceran).
PT Tirta Fresindo, anak usaha Mayora Grup,  melayangkan somasi terbuka terhadap PT Tirta Investama di surat kabar pada 1 Oktober 2017. Somasi ini selanjutnya ditanggapi oleh otoritas persaingan usaha.
KPPU menilai ada praktik persaingan usaha tidak sehat dalam industri air minum dalam kemasan yang diduga dilakukan Aqua, sehingga digelar sidang.





Sumber :
-          http://www.kppu.go.id/id/splash/


Badan Arbitrase Muamalat Indonesia


I.                  Sejarah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia

Sejarah pembentukan badan arbitrase muamalat indonesia dilatarbelakangi dengan Ide pembentukan lembaga arbitrase Islam di Indonesia diawali dengan pertemuan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dengan beberapa orang praktisi hukum, cendikiawan muslim, para pakar, ilmuwan berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, ulama dan kiyai.
Pada tanggal 22 april 1992 yang bertujuan untuk saling tukar pendapat seputar konsepsi arbitrase Islam dan perlu tidaknya suatu badan arbitrase islam hadir pada dewasa itu. Target pertemuan ini mengumpulkan sejumlah pendapat, pandangan dan saran-saran atas ide pembentukan lembaga arbitrase Islam.
Pertemuan ini di lanjutkan pada tanggal 2 Mei 1992 peserta rapat tidak banyak berbeda dengan peserta rapat sebelumnya, kecuali ditambah hadirnya 3 orang utusan dan bank muamalat Indonesia. Rapat bersepakat membentuk suatu tim yang mempelajari dan mempersiapkan bahan-bahan bagian kemungkinan didirikannya badan arbtrase islam.
Sebagian realisasinya di bentuk kelompok kerja membentuknya badan arbitrase hukum islam (BAHI) berdasarkan surat keputusan dewan pimpinan majelis ulama Indonesia nomor kep-392/MUI V/1992 tanggal 04 Mei 1992. Kelompok kerja ini terdiri atas narasumber dan tim teknis. Adapun tugas tim teknis menyelesaikan rancangan-rancangan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, struktur organisasi, personalia kepengurusan prosedur beperkara, biaya berperkara, kriteria arbiter, dan inventaris calon arbiter.
Pada tanggal 24-27 November terjadi Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia Se-Indonesia yang memutuskan sehubungan dengan rencana pendirian lembaga Arbitrase Muamalat, Rapat Kerja Nasional menyarankan agar MUI segera merealisasikan pembentukannya. Sebagai tindak lanjut rapat tersabut dibetuklah panitia persiapan dan peresmian badan Arbitrase Muammalah Indonesia dengan keputusan dewan kepemimpinan MUI No. 08/MUI/I/1993 tanggal 4 Januari 1993 dengan tugas mempersiapkan segala sesuatunya agar badan Arbitrase Muamalah Indonesia dapat segera di resmikan setelah diadakan penyempurnaan-penyempurnaan seperlunya. 
Sebenarnya panitia ini harus menyelesaikan tugas selambat-lambatnya tanggal 28 februari 1993, namun karena keinginan bekerja lebih rapih dan lebih teliti, maka panitia masi terus menerus mengadakan diskusi-diskusi lanjutan dengan mengundang paratisipan yang lebih luas. Pada akhir tibalah saat peresmian tanggal 21 oktober 1993 dengan namanya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia, yang disingkat BAMUI). Peremiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo masing-masing sebagai ketua umum dan skretaris umum dewan pimpinan MUI.

    II.            Perubahan Badan Arbitrase Muamalat Menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
Dalam undang-undang No 16 tahun 2001 tentang yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI maka atas keputusan rapat dewan pimpinan MUI Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003, nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) di ubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil REKERNAS MUI, yang di ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.
Kehadiran Basyarnas sangat diharapkan oleh umat Islam di Indonesia, karena menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan dikalangan umat. Tujuan didirikannya sebagai badan permanen dan independen yang terdapat dalam pasal 4 :
(1) memberikan penyelesaian yang adil dan cepat kemungkinan terjadinya dalam sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam.
(2) menerima Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Lembaga Arbitrase. Didalam UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan belum di atur mengenai bank syariah, tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju di perlukan pemyesuaina kebijakan dibidang ekonomi, termasuk perbankan.

 III.            Tentang Badan Arbitrase Syariah di Indonesia
Lahirnya Lembaga Arbitrase Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adanya lembaga-lembaga perekonomian Islam, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan Asuransi Takaful. Lembaga keuangan tersebut hadir dengan mengusung prinsip syariah, dan secara yuridis formal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Kemudian, untuk mengatasi segala permasalahan/perselisihan yang muncul karenanya, dibutuhkan sebuah pranata hukum yang sesuai dengan dasar hukum yang digunakan yakni prinsip syariah. Maka, atas prakarsa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), dibentuklah sebuah pranata hukum yang  bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) pada tanggal 29 Desember 1992.
Lalu, pada tanggal 24 Desember 2003, berdasarkan keputusan MUI  nomor kep-09/MUI/XII/2003, BAMUI resmi diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Lembaga ini bertugas menangani berbagai sengketa bisnis, baik bagi mereka yang beragama Islam maupun non-Islam.

 IV.            Kedudukan Hukum Arbitrase Syariah di Indonesia
Secara yuridis formal, dasar hukum penanganan perselisihan dengan arbitrase dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 3 ayat 1, yang berbunyi: ”Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan.”
Dalam perkembangannya, landasan dibolehkannya arbitrase ini pun didukung oleh hadirnya UU No. 30 Tahun 1999, yang menjelaskan bahwa setiap Iembaga arbitrase akan sah secara hukum apabila telah memenuhi syarat/ketentuan yang diatur undang- undang.
Kedudukan hukum arbitrase syariah sendiri, dari segi kelembagaan berstatus yayasan yang dibentuk berdasarkan Akta Notaris Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993, dan berdasarkan surat dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor C-190.H.T.03.07.TH.1992 tertanggal 7 Agustus 1992. Sementara jika dilihat dari tata hukum di Indonesia, lembaga arbitrase syariah ini juga memiliki kekuatan hukum. Hal ini mengingat, dalam hukum positif Indonesia, lembaga lain di luar lembaga peradilan diperbolehkan untuk menjadi penengah/wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) memiliki kewenangan untuk terlibat dan menyelesaikan sengketa bisnis.



Sumber :


Kasus Perlindungan Konsumen


Gugatan Konsumen Pada Penerbangan Wings Air
            Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit. 

                Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal. 

                DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

                Sebagai maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia, Lion Air bolak-balik mendapat komplain dari penumpang. Bahkan tidak sedikit komplain ini masuk hingga ke pengadilan.
Dalam catatan detikcom, Selasa (4/9/2012), perusahaan berlogo kepala singa ini pernah digugat Rp 10 miliar oleh pengusaha De Neve Mizan Allan. Pengusaha di bidang otomotif ini menuduh Lion Air telah melakukan refund tiket pesawat miliknya tanpa persetujuannya.

                Tidak terima, lalu Lion Air menggugat balik penumpang tersebut. Lion Air menuding penggugat sebagai penyebab keterlambatan penerbangan dari Bandara Ngurah Rai menuju Soekarno-Hatta. Lion Air menuntut penggugat membayar biaya avtur selama 20 menit sebesar Rp 11,6 juta, pemeliharaan pesawat sebesar US$ 36,6 dan menuntut ganti rugi gaji pilot senilai US$ 73,3 dan biaya extend bandara Rp 1 juta.

Analisa Kasus di atas:

            Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti luas, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.
            Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi.

                Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.

                Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
                Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara intigrative dan komprehensif dapat dilindungi.

            Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer. Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni :

Ø  Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Ø  Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Ø  Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Ø  Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Ø  Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata. Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium. Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:

a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat dinyatakan batal demi hukum.


                Sumber  :


ENGLISH BUSINESS 2# | SESSION 4

Causative Verbs Page 7       1.        The doctor made the patient  stay  in bed.       2.        Mrs. Crane had her house  painte...