Sabtu, 30 Maret 2019

Sistematika Hukum Perdata



          Sistematika Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Hukum perdata di Indonesia mengenal 2 sistematika :
1.     Sistematika hukum perdata menurut undang – undang yaitu hubungan perdata sebagaimana termuat dalam kitab Undang – undang hukum perdata yang terdiri :
Buku I : tentang orang yang mengatur hukum perseorangan dan hukum keluarga (pasal 1 s/d 498)
Buku II : Tentang benda yang mengatur hukum benda dan hukum waris (pasal 499 s/d 1232)
Buku III : Tentang perikatan yang mengatur hukum perikatan dan hukum perjanjian (pasal 1233 s/d 1864)
Buku IV : Tentang pembuktian dan kadaluwarsa yang mengatur alat – alat bukti dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum diatur (pasal 1805 s/d 1993)
2.     Menurut ilmu pengetahuan hukum, sistematika hukum perdata material terdiri :
          Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi : mengatur tentang manusia sebagai subyek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri atau hukum perorangan mengatur tentang hal – hal diri seseorang.
          Hukum tentang keluarga /hukum keluarga : mengatur tentang manusia sebagai subyek hukum,mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri atau hukum keluarga mengatur tentang hukum yang timbul di perkawinan.
          Hukum tentang harta kekayaan / hukum harta benda : mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan uang. Hak mutlak yang memberi kekuasaan atau suatu benda yaa.
          Hukum Waris (erfrecht) : memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Hukum Perdata (Hukum Perikatan)
perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.

Macam-macam Perikatan :
Perikatan bersyarat (Pasal 1253-1267 KUHPer) 
          Perikatan Bersyarat mengandung arti bahwa suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi. Perikatan bersyarat terdiri dari:
1.                 Perikatan dengan syarat tangguh. Ialah perikatan lahir jika peristiwa tersebut telah terjadi pada detik terjadinya peristiwa tersebut (1263 KUHPer).
2.                 Perikatan dengan suatu syarat batal. Ialah perikatan yang sudah lahir akan berakhir atau batal jika peristiwa tersebut terjadi. Perikatan juga batal apabila (1). Syarat itu bertentangan dengan susila atau yang dilarang UU. (2). Pelaksanaan digantungkan pada kemauan debitur(Pasal 1256 KUHPer)

Perikatan dengan ketetapan waktu (Diatur dalam Pasal 1268-1281 KUHPer)
          Perikatan dengan ketetapan waktu ialah perikatan yang hanya menangguhkan pelaksanaannya atau lama waktu berlakunya suatu perikatan.

Perikatan mana suka (alternatif)
          Dalam perikatan mana suka, si debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tapi ia tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang lainnya (Pasal 1272 KUHper).

Perikatan tanggung menanggung
          Jika dalam suatu perjanjian secara teas kepada masing-masing pihak diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedang pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang membebaskan pihak yang berutang. 

          Misalnya, dalam Firma, jika salah satu pihak dalam firma tersebut utang kepada bank atas nama firma, maka semua anggota yang terdapat dalam firma akan menanggung utang dari pihak yang berutang kepada bank tadi (tanggung-renteng).

Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
          Pada hakekatnya perikatan ini tergantung pada kehendak kedua belah pihak, tentang memenuhi prestasi (kewajiban yang diperjanjikan).

Perikatan dengan suatu ancaman hukuman
          Perikatan ini bertujuan untuk  mecegah jangan sampai orang (si berhutang/kreditur) melalaikan kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah tertentu (uang), yang merupakan pembayaran kerugian atas wanprestasi yang sejak semula ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuta perjanjian itu.
Sumber-sumber Perikatan
Perikatan yang bersumber dari perjanjian (Pasal 1313 KUHPer), terdiri dari:
1.                 Perjanjian bernama,yakni perjanjian yang sudah ditentukan dan diatur dalam Perpu/UU. Misalnya: jual-beli, sewa-menyewa.
2.                 Perjanjian tidak bernama, yakni perjanjian yang belum ada dalam UU. Misalnya: leasing, dsb.

Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang (Pasal 1352 KUHPer)
1.                 Undang-undang saja (1352 KUHPer), contohnya: hak numpang pekarangan.
2.                 Undang-undang karena perbuatan orang (Pasal 1353 KUHPer), contohnya: perbuatan yang halal (1354 KUHPer) dan perbuatan yang melawan hukum (1365 KUHPer).
 Hubungan Perikatan dengan Perjanjian
Menurut Prof. Subekti, perkataan “perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Perikatan lebih luas dari perjanjian, karena perikatan itu dapat terjadi karena:
1.                 Perjanjian
2.                 Undang-Undang

          Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa antara perjanjian dengan perikatan mempunyai hubungan, di mana perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan bagian dari perikatan. Jadi, perjanjian melahirkan perikatan dan perjanjian merupakan sumber terpenting dalam perikatan.

Penghapusan Perikatan
Menurut Pasal 1382 KUHPer, hapusnya perikatan terjadi karena:
·                     Pembayaran. Pelunasan berupa prestasi dalam perjanjian (Pasal 1382 -1403 KUHPer)
·                     Penawaran pembayaran diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. Diatur dalam Pasal 1404-1412 KUHPer, jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai dengan perantaraan notaris atau juru sita, jika si berpiutang menolaknya, maka si berutang menitipkan uang atau barangnya kepada Paniter Pengadilan Negeri untuk disimpan. Maka hal ini akan membebaskan si berutang dan berlaku sebagai pembayaran.
·                     Pembaharuan Utang (novasi). Pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan perikatan yang lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru (Subekti, 2003, hlm 156)
·                     Perjumpaan utang (kompensasi/timbal balik). Pencampuran utang terjadi apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul apda 1 orang(1436 KUHPer). Pencampuran yang terjadi pada diri debitur utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya.
·                     Pembebasan utang. Suatu perbuatan hukum di mana kreditur dengan sukarela membebaskan/melepaskan haknya dari debitur dari segala kewajibannya (1438-1443 KUHPer).
·                     Musnahnya barang yang terutang (1444-1445 KUHPer). Barang yang menjadi oyek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diapa-apakan.
·                     Pembatalan. Hapusnya perikatan karena pembatalan diatur dalam Pasal 1446 KUHPer, disebutkan pembatalan perikatan apabila: (a). Perikatan itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum, (b). Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan dan penipuan.
·                     Berlakunya suatu syarat batal. Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatau kembali pada semula, seolah-olah tidak terjadi perikatan.



Sumber :

Sejarah Hukum yang Berlaku di Indonesia

        Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara.

Sejarah Hukum di Indonesia
• Periode Kolonialisme 
• Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal 
• Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru 
• Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
1. Periode Kolonialisme
          Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
          Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2)Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
          Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
b. Periode liberal Belanda
          Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

          Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
          Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum.
          Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;
2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
          Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: 
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; 
2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. 
Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: 
1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; 
2) Unifikasi kejaksaan; 
3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; 
4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 
5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
          Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 
1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 
2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
          UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a. Periode Demokrasi Terpimpin

          Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;
3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b. Periode Orde Baru
          Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:
1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;
2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada
perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
          Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah: 
1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 
2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 
3) Pembaruan sistem ekonomi.




Sumber :
https://http716.wordpress.com/2016/10/29/sejarah-hukum-indonesia/

ENGLISH BUSINESS 2# | SESSION 4

Causative Verbs Page 7       1.        The doctor made the patient  stay  in bed.       2.        Mrs. Crane had her house  painte...